Dua Keinginan
DUA
KEINGINAN
Di keheningan malam, Sang Maut turun dari hadirat Tuhan menuju ke bumi.
Ia terbang melayang-layang di atas sebuah kota dan mengamati seluruh penghuni dengan tatapan matanya.
Ia menyaksikan jiwa-jiwa yang melayang-layang dengan sayap-sayap mereka, dan orang-orang yang terlena di dalam kekuasaan sang lelap.
Di keheningan malam, Sang Maut turun dari hadirat Tuhan menuju ke bumi.
Ia terbang melayang-layang di atas sebuah kota dan mengamati seluruh penghuni dengan tatapan matanya.
Ia menyaksikan jiwa-jiwa yang melayang-layang dengan sayap-sayap mereka, dan orang-orang yang terlena di dalam kekuasaan sang lelap.
Ketika
rembulan tersungkur kaki langit, dan kota itu berubah warna menjadi hitam legam,
Sang Maut berjalan dengan langkah tenang di tengah pemukiman -- berhati-hati
tidak menyentuh apapun -- sampai tiba di sebuah istana.
Dia masuk dan tak
seorang pun kuasa menghalangi.
Dia tegak di sisi sebuah ranjang dan menyentuh
pelupuk matanya, dan orang yang tidur itu bangun dengan ketakutan.
Melihat
bayangan Sang Maut di hadapannya, dia menjerit dengan suara ketakutan,
"Menyingkirlah kau dariku, mimpi yang mengerikan! Pergilah engkau makhluk jahat!
Siapakah engkau ini? Dan bagaimana mungkin kau masuk istana ini? Apa yang kau
inginkan? Pergilah, karena akulah empunya rumah ini. Enyahlah kamu, kalau
tidak, kupanggil para budak dan para pengawal untuk mencincangmu menjadi
kepingan!"
Kemudian Maut berkata dengan suara lembut, tapi sangat
menakutkan, "Akulah kematian, berdiri dan membungkuklah kepadaku."
Dan si
kaya berkuasa itu bertanya, "Apa yang kau inginkan dariku sekarang, dan benda
apa yang kau cari? Kenapa kau datang ketika pekerjaanku belum selesai? Apa yang
kau inginkan dari orang kuat seperti aku? Pergilah sana, carilah orang-orang
yang lemah, dan ambillah dia! Aku ngeri oleh taring-taringmu yang berdarah dan
wajahmu yang bengis, dan mataku bergetar menatap sayap-sayapmu yang menjijikan
dan tubuhmu yang memuakkan."
Setelah
diam beberapa saat dan tersadar dari ketakutannya, ia menambahkan, "Tidak,
tidak, Maut yang pengampun, jangan pedulikan apa yang telah kukatakan, karena
rasa takut membuat diriku mengucapkan kata-kata yang sesungguhnya terlarang.
Maka ambillah emasku seperlunya atau nyawa salah seorang dari budak, dan
tinggalkanlah diriku... Aku masih memperhitungkan kehidupan yang masih belum
terpenuhi dan kekayaan pada orang-orang yang belum terkuasai. Di atas laut aku
memiliki kapal yang belum kembali ke pelabuhan, dan pada hasil bumi yang belum
tersimpan. Ambillah olehmu barang yang kau inginkan dan tinggalkanlah daku. Aku
punya selir, cantik bagai pagi hari, untuk kau pilih, Kematian. Dengarlah lagi :
Aku punya seorang putra tunggal yang kusayangi, dialah biji mataku. Ambillah dia
juga, tapi tinggalkan diriku sendirian."
Sang
Maut itu menggeram, engkau tidak kaya tapi orang miskin yang tak tahu diri.
Kemudian Maut mengambil tangan orang itu, mencabut kehidupannya, dan
memberikannya kepada para malaikat di langit untuk memeriksanya.
Dan
maut berjalan perlahan di antara orang-orang miskin hingga ia mencapai rumah
paling kumuh yang ia temukan. Ia masuk dan mendekati ranjang di mana tidur
seorang pemuda dengan kelelapan yang damai. Maut menyentuh matanya, anak muda
itu pun terjaga.
Dan ketika melihat Sang Maut berdiri di sampingnya, ia berkata
dengan suara penuh cinta dan harapan, "Aku di sini, wahai Sang Maut yang cantik.
Sambutlah ruhku, impianku yang mengejawantah dan hakikat harapanku. Peluklah
diriku, kekasih jiwaku, karena kau sangat penyayang dan tak kan meninggalkan
diriku di sini.
Kaulah utusan Ilahi, kaulah tangan kanan kebenaran. Jangan
tinggalkan daku."
"Aku
telah memanggilmu berulang kali, namun kau tak mendengarkan.
Tapi kini kau telah
mendengarku, karena itu jangan kecewakan cintaku dengan peng-elakan diri.
Peluklah ruhku, Sang Maut terkasih."
Kemudian Sang Maut meletakkan jari-jari lembutnya ke atas
bibir yang bergetar itu, mencabut nyawanya, dan menaruhnya di bawah
sayap-sayapnya.
Ketika
ia naik kembali ke langit, Maut menoleh ke belakang -- ke dunia -- dan dalam
bisikan ia berkata, "Hanya mereka yang di dunia mencari Keabadian-lah yang
sampai ke Keabadian itu."
(dari
"Kelopak-Kelopak Jiwa" - Gibran Khalil Gibran)
Komentar